Aku tak pernah tau nama Bapak tua itu. Aku pun tak pernah berbicara
dengannya. Aku hanya selalu memperhatikannya dari jauh. Aku tak pernah tau dimana rumahnya. Akupun tak
pernah tau apa pekerjaan Bapak tua itu. Yang pasti di setiap sore dia selalu
setia dengan rutinitasnya. Mungkin itu adalah pekerjaannya sehari-hari dalam
rangka mencari sesuap nasi dan bertahan di Ibu kota ini.
Setiap sore Bapak
tua itu akan senantiasa berdiri di jembatan kali bening (Cuma namanya aja
bening , padahal keadaannya sangat bertolak belakang tercemar banget euy..) .Bapak itu melakukan
aktivitas yang unik dan langka. Mengambil sampah-sampah berupa botol dengan
sebilah bambo yang diujungnya diberi jaring kecil. Kemudian mengumpulkan sampah-sampah yang ada disekitar
kali bening itu. Dia tidak peduli dengan pandangan orang-orang yang melewati
jembatan itu. Tatapan menjijikkan ataupun kasihan dari orang lain tak pernah digubrisnya.
Tiba-tiba bapak tua
itu menghampiriku.
“Mang.., ke Cipinang
ya..” ujar bapak itu ringan.
Aku sendiri masih
bingung. Tumben-tumbennya bapak itu naik becak. Biasanya , setelah rutinitasnya
selesai, dia akan menyeberang dan naik
angkot kearah Kali Malang. Tapi sekarang dia malah memintaku mengantarnya ke
Cipinang.
“Ayo Mang…!!”
“Yup Pak..”
akhirnya ku kayuh becakku.
“ Mau pulang ke
rumah ya Pak?” aku mencoba sok akrab dengan bapak tua itu.
“ Gak mang.., saya
mau balik ke panti.” Jawab bapak tua itu datar.
“ Ha? Panti ?” tak
sadar diri aku malah berteriak. Bapak itu tersenyum. Sepertinya dia mengerti
dengan keterkejutanku.
“ Ya , saya tinggal di Panti Jompo Cipinang. “
“ Maaf pak..,
anak-anaknya dimana?” ragu-ragu aku bertanya. Takut menyinggung perasaan si
bapak.
“ Anak saya tinggal
di Jakarta juga mang. Mamang tau rumah besar bercat orange yang ada di seberang
jembatan tadi?”
“Yup.., tentu saja
saya tau Pak. Itukan rumah yang paling besar di sekitar situ. Pintu pagarnya
aja setinggi 3 meter , pagarnya selalu tertutup dan baru dibuka jika si empunya
rumah pergi kerja pagi hari dan pulang kerja malam hari pak. Tapi yang punya
rumah rada sombong gitu Pak.” entah mengapa aku menjawab pertanyaan bapaknya
panjang lebar seperti itu.
“ Itu rumah anak
saya pak.”
‘Glekk…” aku
terkejut setengan mati plus malu.
“ Maaf pak…”
sepertinya penjelasan ku tadi sangat ceplas ceplos.
“Tak apa-apa,
setiap sore saya selalu ke sana berharap kali yang tercemar dan sampah-sampah itu
sedikit berkurang. Takut anak saya nanti sakit karena lingkungan sekitarnya gak
sehat.”
Aku masih tidak
percaya dengan apa yang aku dengar , Bapak itu sengaja membersihkan sampah di kali itu demi anaknya. Demi lingkungan
tempat tinggal anaknya. Sedangkan anaknya sendiri tidak memikirkan dirinya
malah membuang si bapak tua ke panti jompo dan parahnya sang anak tidak tahu
atas perjuangan orang tuanya. Ironis sekali. Entah mengapa hatiku tak
menerimanya. Mengapa ada anak yang begitu tega pada orang tuanya sendiri padahal
Orang tua itu dalam ketuaannya dan dalam
keterbatasannya tetap menjaga dan melindungi anaknya. Dengan cara yang tak
pernah kita sangka. Benar kata orang “Sayang
orang tua itu sepanjang masa“ tapi apa benar sayang anak itu hanya sepanjang
jalan?