Pages

Friday, May 25, 2012

Harmoni Dengan Realita


Ketika kepala ini harus menunduk malu
Karena merasa diri tak berguna
Karena merasa diri melakukan kesalahan
Karena merasa diri tak mampu membanggakan orang yang dicinta
Maka harmonisasi kehidupan dengan kesportifitasanlah yang akan kembali menegakkan kembali kepalamu.

Ketika hatimu terasa sempit
Karena apa yang kamu lakukan tak dihargai
Karena  apa yang telah kamu berikan malah dicampakkan
Karena apa yang telah kamu usahakan tak sesuai harapan
Maka harmonisasi kehidupan dengan kesabaranlah yang akan membuat hatimu lapang.

Ketika kamu ragu untuk melangkah
Karena tak banyak orang mendukungmu
Karena banyak yang meragukan kemampuanmu
Karena drimupun tak yakin dengan apa yang kamu perjuangkan
Maka harmonidasikan kehidupanmu dengan ketegaran dan kemamtapan tujuan agar langkahmu menjadi ringan.

Ketika tanganmu ragu untuk memberi
Karena takut kebaikanmu disalah artikan
Karena takut apa yang kamu miliki berkurang
Maka harmonisasikan kehidupanmu dengan  keikhlasan yang akan membuatmu semakin bijak.

Friday, May 11, 2012

Kebaikan Nan Menginspirasi

Jika ada yang menanyakan cita-cita kepadaku  , aku sendiri gak tau mesti jawab apa. Kalau secara realita di lapangan, aku kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik  , belajar ilmu yang berhubungan dengan semua hal yang statistik, menyiapkan diri untuk bisa terjun di persilatan para statistisi. Tapi sungguh jika ditanya lagi apa cita-cita terbesarku . Aku tidak tahu .  bukan karena aku tak punya target hidup atau impian , tapi sungguh aku sendiri bingung profesi apa yang sebenarnya aku impikan.

Dulu .., waktu kecil jika ada yang bertanya tentang cita-cita  tentu aku akan menjawab menjadi dokter. Karena dokter itu terlihat baik , pintar, bisa menyelamatkan nyawa dan mengobati orang sakit, menurutku itu adalah sebuah profesi yang magic. Setelah rok merah berganti dengan rok biru , cita-citaku pun berganti menjadi Arsitek (membangun sebuah rumah impian yang didesigin sendiri adalah impian yang akan kurealisasikan nantinya.) Cita-cita menjadi Arsitekpun tergeser posisinya oleh Psikolog. Aku ingin menjadi Psikolog. Aku ingin membantu orang lain dalam menyelesaikan masalah.   Tapi nyatanya aku saat ini masuk jurusan statistik . Jurusan yang secara tak sengaja aku bilang jurusan aneh. Aneh kenapa? Lho wong ngitung dan ngolah data yang bejibun dengan rumus dan perhitungan yang rumusnya bikin tiap orang geleng-geleng kepala dan bikin dahi berkerut. Jurusan yang banyak mahasiswa mengatakan “Gw cukup sekali ini ngambil mata kuliah statistik ini.., rempong..” . Aku sendiri  hanya akan tersenyum jika ada yang mengatakannya seperti itu. Karena akupun pernah mengatakan hal yang mirip dengan kata-kata diatas sewaktu belajar statistik matematika di SMA.  Dan ternyata kata-kata itu menjadi karma sekaligus anugerah bagiku saat ini. J
Namun jika kalian bertanya detik ini tentang cita-citaku. Dengan mantap aku akan mengatakan bahwa aku ingin menjadi orang yang bisa berbuat baik kepada orang lain dan menginspirasi orang lain untuk bisa berbuat baik juga dalam profesi apapun karena kebaikanlah yang akan menginspirasi kebaikan. Jawaban ini kudapatkan setelah berplesiran ke Kemendagri.
Karena ada data yang dibutuhkan untuk skripsi sekaligus mencari pencerahan dari skripsinya , salah seorang teman kos ku mengajakku ke Kemendagri. Setiba disana kami dilayani dengan ramah. Dari satpam sampai pegawainya ramah banget…, kalau boleh aku mengacungkan dua jempol untuk pelayanannya. Padahal ketika kami datang , udah mau istirahat siang tapi mbak yang menangani tentang Tarif import ini masih mau ngeladenin kami. Cara dia bicara , cara dia berpikir , cara dia nyampein analisisnya bikin kami terpana . Mbak ini pintar banget , ramah lagi. Kita kirain dia ramahnya cuma sama kita ternyata sama ibu-ibu yang jualan cemilan pun  dia tetap bersikap ramah dan sopan.

Thursday, May 10, 2012

Diorama Si Bapak Tua


Aku tak pernah tau  nama Bapak tua itu. Aku pun tak pernah berbicara dengannya. Aku hanya selalu memperhatikannya dari jauh.  Aku tak pernah tau dimana rumahnya. Akupun tak pernah tau apa pekerjaan Bapak tua itu. Yang pasti di setiap sore dia selalu setia dengan rutinitasnya. Mungkin itu adalah pekerjaannya sehari-hari dalam rangka mencari sesuap nasi dan bertahan di Ibu kota ini.
Setiap sore Bapak tua itu akan senantiasa berdiri di jembatan kali bening (Cuma namanya aja bening , padahal keadaannya sangat bertolak belakang tercemar banget euy..) .Bapak itu melakukan aktivitas yang unik dan langka. Mengambil sampah-sampah berupa botol dengan sebilah bambo yang diujungnya diberi jaring  kecil. Kemudian  mengumpulkan sampah-sampah yang ada disekitar kali bening itu. Dia tidak peduli dengan pandangan orang-orang yang melewati jembatan itu. Tatapan menjijikkan ataupun kasihan dari orang lain tak pernah digubrisnya.
Tiba-tiba bapak tua itu menghampiriku.
“Mang.., ke Cipinang ya..” ujar bapak itu ringan.
Aku sendiri masih bingung. Tumben-tumbennya bapak itu naik becak. Biasanya , setelah rutinitasnya selesai,  dia akan menyeberang dan naik angkot kearah Kali Malang. Tapi sekarang dia malah memintaku mengantarnya ke Cipinang.
“Ayo Mang…!!”
“Yup Pak..” akhirnya ku kayuh becakku.
“ Mau pulang ke rumah ya Pak?” aku mencoba sok akrab dengan bapak tua itu.
“ Gak mang.., saya mau balik ke panti.” Jawab bapak tua itu datar.
“ Ha? Panti ?” tak sadar diri aku malah berteriak. Bapak itu tersenyum. Sepertinya dia mengerti dengan keterkejutanku.
“  Ya , saya tinggal di Panti Jompo Cipinang. “
“ Maaf pak.., anak-anaknya dimana?” ragu-ragu aku bertanya. Takut menyinggung perasaan si bapak.
“ Anak saya tinggal di Jakarta juga mang. Mamang tau rumah besar bercat orange yang ada di seberang jembatan tadi?”
“Yup.., tentu saja saya tau Pak. Itukan rumah yang paling besar di sekitar situ. Pintu pagarnya aja setinggi 3 meter , pagarnya selalu tertutup dan baru dibuka jika si empunya rumah pergi kerja pagi hari dan pulang kerja malam hari pak. Tapi yang punya rumah rada sombong gitu Pak.” entah mengapa aku menjawab pertanyaan bapaknya panjang lebar seperti itu.
“ Itu rumah anak saya pak.”
‘Glekk…” aku terkejut setengan mati plus malu.
“ Maaf pak…” sepertinya penjelasan ku tadi sangat ceplas ceplos.
“Tak apa-apa, setiap sore saya selalu ke sana berharap kali yang tercemar dan sampah-sampah itu sedikit berkurang. Takut anak saya nanti sakit karena lingkungan sekitarnya gak sehat.”
Aku masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar , Bapak itu sengaja membersihkan sampah  di kali itu demi anaknya. Demi lingkungan tempat tinggal anaknya. Sedangkan anaknya sendiri tidak memikirkan dirinya malah membuang si bapak tua ke panti jompo dan parahnya sang anak tidak tahu atas perjuangan orang tuanya. Ironis sekali. Entah mengapa hatiku tak menerimanya. Mengapa ada anak yang begitu tega pada orang tuanya sendiri padahal Orang tua itu dalam ketuaannya dan dalam keterbatasannya tetap menjaga dan melindungi anaknya. Dengan cara yang tak pernah kita sangka. Benar kata orang “Sayang orang tua itu sepanjang masa“ tapi apa benar sayang anak itu hanya sepanjang jalan?