Pages

Thursday, May 10, 2012

Diorama Si Bapak Tua


Aku tak pernah tau  nama Bapak tua itu. Aku pun tak pernah berbicara dengannya. Aku hanya selalu memperhatikannya dari jauh.  Aku tak pernah tau dimana rumahnya. Akupun tak pernah tau apa pekerjaan Bapak tua itu. Yang pasti di setiap sore dia selalu setia dengan rutinitasnya. Mungkin itu adalah pekerjaannya sehari-hari dalam rangka mencari sesuap nasi dan bertahan di Ibu kota ini.
Setiap sore Bapak tua itu akan senantiasa berdiri di jembatan kali bening (Cuma namanya aja bening , padahal keadaannya sangat bertolak belakang tercemar banget euy..) .Bapak itu melakukan aktivitas yang unik dan langka. Mengambil sampah-sampah berupa botol dengan sebilah bambo yang diujungnya diberi jaring  kecil. Kemudian  mengumpulkan sampah-sampah yang ada disekitar kali bening itu. Dia tidak peduli dengan pandangan orang-orang yang melewati jembatan itu. Tatapan menjijikkan ataupun kasihan dari orang lain tak pernah digubrisnya.
Tiba-tiba bapak tua itu menghampiriku.
“Mang.., ke Cipinang ya..” ujar bapak itu ringan.
Aku sendiri masih bingung. Tumben-tumbennya bapak itu naik becak. Biasanya , setelah rutinitasnya selesai,  dia akan menyeberang dan naik angkot kearah Kali Malang. Tapi sekarang dia malah memintaku mengantarnya ke Cipinang.
“Ayo Mang…!!”
“Yup Pak..” akhirnya ku kayuh becakku.
“ Mau pulang ke rumah ya Pak?” aku mencoba sok akrab dengan bapak tua itu.
“ Gak mang.., saya mau balik ke panti.” Jawab bapak tua itu datar.
“ Ha? Panti ?” tak sadar diri aku malah berteriak. Bapak itu tersenyum. Sepertinya dia mengerti dengan keterkejutanku.
“  Ya , saya tinggal di Panti Jompo Cipinang. “
“ Maaf pak.., anak-anaknya dimana?” ragu-ragu aku bertanya. Takut menyinggung perasaan si bapak.
“ Anak saya tinggal di Jakarta juga mang. Mamang tau rumah besar bercat orange yang ada di seberang jembatan tadi?”
“Yup.., tentu saja saya tau Pak. Itukan rumah yang paling besar di sekitar situ. Pintu pagarnya aja setinggi 3 meter , pagarnya selalu tertutup dan baru dibuka jika si empunya rumah pergi kerja pagi hari dan pulang kerja malam hari pak. Tapi yang punya rumah rada sombong gitu Pak.” entah mengapa aku menjawab pertanyaan bapaknya panjang lebar seperti itu.
“ Itu rumah anak saya pak.”
‘Glekk…” aku terkejut setengan mati plus malu.
“ Maaf pak…” sepertinya penjelasan ku tadi sangat ceplas ceplos.
“Tak apa-apa, setiap sore saya selalu ke sana berharap kali yang tercemar dan sampah-sampah itu sedikit berkurang. Takut anak saya nanti sakit karena lingkungan sekitarnya gak sehat.”
Aku masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar , Bapak itu sengaja membersihkan sampah  di kali itu demi anaknya. Demi lingkungan tempat tinggal anaknya. Sedangkan anaknya sendiri tidak memikirkan dirinya malah membuang si bapak tua ke panti jompo dan parahnya sang anak tidak tahu atas perjuangan orang tuanya. Ironis sekali. Entah mengapa hatiku tak menerimanya. Mengapa ada anak yang begitu tega pada orang tuanya sendiri padahal Orang tua itu dalam ketuaannya dan dalam keterbatasannya tetap menjaga dan melindungi anaknya. Dengan cara yang tak pernah kita sangka. Benar kata orang “Sayang orang tua itu sepanjang masa“ tapi apa benar sayang anak itu hanya sepanjang jalan?

  







No comments:

Post a Comment