Pages

Tuesday, November 6, 2012

Balada Si Pengemis Tua



Jakarta adalah kota metropolitan dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Bukti rilnya bisa dilihat, dalam setahun berpuluh-puluh mall baru yang dibangun. Setiap mall yang baru dibuka, pasti selalu ada kostumernya. Gak pernah sepi. Kota padat penduduk ini tidak hanya terkenal dengan gemerlapnya hiburan tapi juga terkenal dengan banjir dan kemacetan. Jakarta menjadi kota yang menjanjikan untuk mencari pundi-pundi uang. Jadi wajar saja banyak orang “kaya” di Jakarta dan banyak juga orang yang “tidak mampu”.
Nah.., kalau pengemis itu termasuk yang mana ya??  Orang mampu atau tidak mampu atau cukup mampu. Setiap orang mempunyai jawaban sendiri-sendiri kan?? Belajar dari pengalaman, menurut saya sebagian orang dari pengamen atau pengemis di Jakarta sebenarnya bisa di kategorikan ke dalam golongan cukup mampu atau malah golongan yang berkecukupan.
Beberapa bulan yang lalu, iseng-iseng sendirian nyari bacaan ke Gramedia Matraman. Niatnya sih siapa tau ada acara “iseng-iseng berhadiah di sana”. Ternyata harapan tinggallah harapan. Setelah merasakan suhu ruangan yang adem ayem dari jam 1 sampai jam 4 sore. Saya pun memutuskan untuk pulang ke singasana kosan.
Berjalan kearah halte busway yang ada di depan gramedia, menapaki satu per satu anak tangga di jembatan busway. Hingga akhirnya mata ini menangkap seorang bapak-bapak paruh baya yang sangat renta rupanya. Tiba-tiba teringat ayah di rumah. Sangat menyedihkan nasib bapak tua ini. Dengan senang hati lembaran X ribuan dari dompet berpindah ke kaleng yang ada di hadapan bapak tua itu.
Sepertinya istilah dari mata turun ke hati itu benar juga. Sampai-sampai mata hatipun ikut tergerak untuk urusan ini. Lumayan bersedekah untuk akhirat. Berjalan beberapa langkah meninggalkan si bapak tua itu. Tiba-tiba terdengar ringtone “Salah alamat”nya Si Ayu Ting-Ting. Entah kenapa kepala ini langsung celingak celinguk mencari sumber bunyi. Dan ternyata , itu adalah HP Blackberry Si Bapak pengemis yang menerima duit tadi.
Aku hanya melongo melihat pemandangan tadi. Tidak hanya merk handphonenya saja yang membuatku syok, komentarnya di telpon juga membuatku syok lagi.
“Tenang aje, ntar gua BBM si X (lupa nama yang disebutin). Lo kagak usah kuatir. “
Kenapa tiba-tiba saya jadi geram sendiri ya dengan fenomena langka ini. Rasanya saya pingin ngambil X ribuan yang diserahkan tadi. Ngerasa gak ikhlas aja. Ngerasa diboongin.  Bagaimana mungkin pengemis yang tidak bekerja dan mengharapkan income untuk hidupnya dari meminta-minta memiliki handphone blackberry. Darimana dia dapat duit untuk bayar bulanan BBnya??  Bukannya buat makan aja susah ya??
Sepanjang jalan pulang, tu tampang si bapak terus membayangi. Senyum merekahnya ketika menerima telpon dari temannya (mungkin) sangat kontras dengan tampangnya yang memelas ketika mengemis.  Benar kata lirik lagu “ Hidup ini adalah panggung sandiwara” dan Saya yakin Si Bapak pengemis itu berhasil memainkannya.
Kalau dipikir-pikir memang hak dia untuk memiliki barang apapun dengan uang yang dia miliki. Bagaimana dia mengelola keuangannya , itupun adalah hak dia. Tapi saya tetap saja heran dengan jalan pikiran Si bapak tua itu. Atau sebenarnya profesi pengemis adalah profesi yang menjanjikan dan mendatangkan pemasukan yang berjuta-juta per bulannya? Apalagi tidak dikenai pajak kan? Tapi tetap saja miris kalau mengingatnya.








No comments:

Post a Comment