Bercerita tentang pengalaman PKL (Praktek
Kerja lapangan) bagi mahasiswa tentu sesuatu hal yang menarik . Kesan selama
KKN , magang atau pun PKL tentu berbeda-beda. Ada yang menganggapnya pengalaman
yang berkesan , ada juga yang menganggapnya mimpi buruk dalam hidupnya dan
tidak mau lagi melakoni hal yang sama ketika mereka PKL. PKL yang saya lewati
setahun yang lalu adalah PKL di madura , sebuah pulau di timur jawa. Tempat yang
terkenal dengan satenya tetapi tak pernah masuk dalam list tempat tujuan yang
akan saya kunjungi sebelumnya.
Datang ke negri baru dengan budaya
baru , tentu sesuatu yang menarik untuk dijalani atau malah menakutkan untuk
beberapa orang. Sebelum berangkat ke Madura , memang butuh persiapan lahir
bathin. Terutama bathin..! Kenapa? Image orang madura yang keras dan kasar ,
budaya carok yang menakutkan , serta berkembangnya sejenis santet ditengah
masyarakat yang taat dan bernuansa islami. Selain itu saya juga membayangkan
bahwa madura itu kampung sekali dan dipenuhi hutan. Ingat !! Itu semua adalah
persepsi awal. Bisa salah bisa benar. Iya kan??
Ternyata .. teman-teman ,apa yang saya temui itu memang
tidak jauh berbeda dengan persepsi awal itu , tapi alasan dan situasinya lebih
jelas dan lebih dapat dimengerti. Kabar tentang orang madura itu keras dan
kasar itu lebih tepatnya mengenai logat
bicara dan nada suaranya. Tapi sebenarnya , kata salah satu seorang kepala desa
yang pernah saya wawancarai “orang madura itu memang keras suaranya , tapi
lembut hatinya. Jika kita berlaku satu kebaikan kepada mereka maka mereka akan
membalas lebih banyak kebaikan lagi , tapi jika kita melakukan kejahatan kepada
mereka , maka mereka juga akan membalas lebih jahat lagi.”.
Lanjut mengenai budaya carok, budaya
itu benar adanya di pulau penghasil garam terbesar di Indonesia. Tetapi budaya
itu mulai semakin berkurang seiring dengan berkembangnya zaman. Carok itu
biasanya dilakukan oleh seseorang karena menurutnya harga dirinya sebagai laki-laki
telah terinjak-injak , misalnya : istrinya selingkuh atau berzina dengan
laki-laki lain. Maka sang suami merasa berhak untuk mencarok laki-laki yang
berselingkuh dengan istrinya. Setelah mencarok, Sang suami tersebut menyerahkan
diri langsung ke kantor Polisi. Sedangkan untuk keluarga korban dari pihak
laki-laki diminta untuk tidak dendam kepada yang mencarok. Mungkin hal itu kita
anggap aneh atau diluar logika tetapi itu semua lahir dan hidup dalam sebuah
budaya yang mengakar kuat didalam masyarakat.
Mayoritas penduduk madura adalah
muslim. Nuansa lingkungan islami juga terasa kental . di jalan-jalan banyak
ditemukan asmaul husna , khususnya di daerah pamekasan. Selain itu juga banyak pondok pesantren di
madura. Sayangnya , layaknya didaerah lain di belahan Indonesia budaya sejenis
menyantet atau sejenisnya memang masih ada tetapi tidak sebanyak dulu. Gara –
gara itu saya sempat ragu-ragu juga asal minum. Tetapi 3 minggu disana, saya
tidak menemukan hal seperti itu.
Mengenai bayangan tentang keadaan madura
yang penuh hutan dan kampong itu , ternyata salah kaprah. Awal Bis memasuki pulau
madura setelah melintasi jembatan suromadu yang menjadi karya anak negri memang
yang kita dapati hanya hijau (hutan kecil-kecilan) , rumah-rumah masih satu satu
untuk sekian kilo. Semakin memasuki pulau madura semakin banyak ditemukan pemukiman
dan pasar, tidak semaju kota surabaya memang, tapi perekonomiannya cukup baik.
Satu lagi tentang madura yang saya
klarifikasi , sepertinya jika orang madura berbicara tidak pernah di akhiri
dengan kata “TAK YE”, tapi saya heran sendiri dengan TV-TV yang mempertontonkan
logat madura dengan kata “Tak ye”. Saya aja bingung apa lagi penduduk aslinya?.
Sebelum berangkat banyak persepsi yang lahir
dan balik dari madura banyak jawaban dari semua persepsi yang kami dapatkan.
No comments:
Post a Comment