Jakarta
adalah kota metropolitan dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Bukti rilnya
bisa dilihat, dalam setahun berpuluh-puluh mall baru yang dibangun. Setiap mall
yang baru dibuka, pasti selalu ada kostumernya. Gak pernah sepi. Kota padat
penduduk ini tidak hanya terkenal dengan gemerlapnya hiburan tapi juga terkenal
dengan banjir dan kemacetan. Jakarta menjadi kota yang menjanjikan untuk
mencari pundi-pundi uang. Jadi wajar saja banyak orang “kaya” di Jakarta dan
banyak juga orang yang “tidak mampu”.
Nah..,
kalau pengemis itu termasuk yang mana ya?? Orang mampu atau tidak mampu
atau cukup mampu. Setiap orang mempunyai jawaban sendiri-sendiri kan?? Belajar
dari pengalaman, menurut saya sebagian orang dari pengamen atau pengemis di
Jakarta sebenarnya bisa di kategorikan ke dalam golongan cukup mampu atau malah
golongan yang berkecukupan.
Beberapa
bulan yang lalu, iseng-iseng sendirian nyari bacaan ke Gramedia Matraman.
Niatnya sih siapa tau ada acara “iseng-iseng berhadiah di sana”. Ternyata
harapan tinggallah harapan. Setelah merasakan suhu ruangan yang adem ayem dari
jam 1 sampai jam 4 sore. Saya pun memutuskan untuk pulang ke singasana kosan.
Berjalan
kearah halte busway yang ada di depan gramedia, menapaki satu per satu anak
tangga di jembatan busway. Hingga akhirnya mata ini menangkap seorang
bapak-bapak paruh baya yang sangat renta rupanya. Tiba-tiba teringat ayah di
rumah. Sangat menyedihkan nasib bapak tua ini. Dengan senang hati lembaran X
ribuan dari dompet berpindah ke kaleng yang ada di hadapan bapak tua itu.
Aku
hanya melongo melihat pemandangan tadi. Tidak hanya merk handphonenya saja yang
membuatku syok, komentarnya di telpon juga membuatku syok lagi.
“Tenang
aje, ntar gua BBM si X (lupa nama yang disebutin). Lo kagak usah kuatir. “
Kenapa
tiba-tiba saya jadi geram sendiri ya dengan fenomena langka ini. Rasanya saya
pingin ngambil X ribuan yang diserahkan tadi. Ngerasa gak ikhlas aja. Ngerasa
diboongin. Bagaimana mungkin pengemis yang tidak bekerja dan mengharapkan
income untuk hidupnya dari meminta-minta memiliki handphone blackberry. Darimana
dia dapat duit untuk bayar bulanan BBnya?? Bukannya buat makan aja susah
ya??
Sepanjang
jalan pulang, tu tampang si bapak terus membayangi. Senyum merekahnya ketika
menerima telpon dari temannya (mungkin) sangat kontras dengan tampangnya yang
memelas ketika mengemis. Benar kata lirik lagu “ Hidup ini adalah
panggung sandiwara” dan Saya yakin Si Bapak pengemis itu berhasil memainkannya.
Kalau
dipikir-pikir memang hak dia untuk memiliki barang apapun dengan uang yang dia
miliki. Bagaimana dia mengelola keuangannya , itupun adalah hak dia. Tapi saya
tetap saja heran dengan jalan pikiran Si bapak tua itu. Atau sebenarnya profesi
pengemis adalah profesi yang menjanjikan dan mendatangkan pemasukan yang
berjuta-juta per bulannya? Apalagi tidak dikenai pajak kan? Tapi tetap saja
miris kalau mengingatnya.
No comments:
Post a Comment